I.
PENDAHULUAN
Membicarakan
utang pajak maka kita harus berfikir secara analisis, yakni harus mengerti apa
pajak dan apa utang. Dan secara yuridis mengenai utang itu harus ada pihak,
yakni pihak kreditur yang mempunyai hak dan pihak debitur yang mempunyai
kewajiban.
Timbulnya
utang dalam hukum perdata (utang biasa) disebabkan adanya perikatan yang
dikuasai oleh hukum perdata. Dalam perikatan maka pihak yang satu berkewajiban
memenuhi apa yang menjahi hak pihak lain, misalnya terjadi perjanjian jual beli,
maka kewajiban penjual menyerahkan barang yang dijualnya, sedangkan pembeli
berkewajiban membayar harga yang telah ditetapkan.
Sedangkan
perikatan yang timbul dari undang-undang saja, misalnya adanya “kelahiran”
yaitu bila anak lahir maka menurut undang-undang, orang tuanya berkewajiban
mengurus dan memelihara anaknya.
Utang
pajak timbul karena undang-undang, dimana antara Negara dan Rakyat samasekali
tidak ada perikatan yang melandasi utang itu. Hak dan kewajiban antara negara
dan rakyat tidak sama. Negara dapat memaksakan utang itu untuk dibayar bila
seseorang wajib pajak terutang (pajak) terhadap Negara.
Hal ini
bisa dilihat dalam Pasal 12 (1) UU No.16 Tahun 2000. “setiap wajib pajak wajib
membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa utang pajak dan penagihan
pajak?
2.
Bagaimana timbulnya utang
pajak?
3.
Bagaimana Berakhirnya
Utang Pajak?
III.
PEMBAHASAN
1.
Utang Pajak dan Penagihan
Pajak
1)
Utang Pajak
Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 angka 8 Undang- Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa bahwa utang pajak adalah
pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda, atau kematian kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapann pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.[1]
Utang pajak mempunyai perbedaan dengan utang biasa yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Utang pajak diliputi/dikuasai oleh ketentuan hukum publik, sedangkan
utang biasa dikuasai oleh hukum perdata. Kalau dalam hukum perdata utang pajak
jasa timbal balik tidak ada.
Utang biasa penagihanya berdasarkan hukum perdata, sedangkan utang
pajak penagihanya berdasarkan hukum publik yang diatur dalam Undang-Undang
No.19 Tahun 2000 yang dikenal dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Penagih utang pajak dilakukan oleh aparatur Negara dalam hal ini
diwakili oleh dirjen pajak, sedangkan penagih utang biasa dilakukan oleh pihak
yang memiliki hak atas utang tersebut atau pihal lain yang mendapat surat kuasa
untuk menagih dari pihak yang ,memiliki hak atas utang tersebut.[2]
2)
Penagihan utang pajak.
Penagihan utang pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan peyanderaan,
menjual barang yang telah disita. Apabila utang pajak sampai dengan tanggal
jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak
sebagai berikut.
a.
Surat teguran
Dalam hal WP tidak menyutujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak
yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak
mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan surat
Teguran setelah lewat 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Dalam hal WP tidak menyutujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP mengajuan
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB (surat
ketetapan pajak kurang bayar) atau SKPKBT(surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan), kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh
tempo pengajuan banding.
Dalam hal WP tidak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus
dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, keada WP disampaikan Surat
Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh temo pelunasan.[3]
b.
Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak daan biaya
penagihan pajak.
Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal surat Teguran tidak
dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Juru Sita Pajak
dengan membebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp.50.000,00.
Utang
pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat paksa
diberitahukan oleh Juru Sita Pajak.
Surat
paksa diterbitkan apabila:
a)
penanggung pajak tidak
melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya
telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang
sejenis.
b)
Pelaksanaan Surat paksa
tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2x24 jam setelah
surat paksa diberitahukan.[4]
c.
Juru Sita Pajak
Juru Sita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang
meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa,
Penyitaan, dan penyaanderaan.
Juru
Sita Pajak berwenang untuk menerbitkan:
I.
Surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus
II.
Surat paksa
III.
Surat perintah
melaksanakan penyitaan
IV.
Surat perintah
penyanderaan
V.
Surat pencabutan sita
VI.
Pengumuman lelang
VII.Pembatalan lelang
VIII.
Surat lain yang
diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.[5]
d.
Surat sita
Utang
pajak dalam waktu utang pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa
diberitahukan oleh Juru Sita Pajak tidak dilunasi, Juru Sita Pajak daapat
melakukaan tindakan penyitaan sebesar Rp.100.000,00.[6]
e.
Lelang
Dalam jangka waktu palig singkat 14 hari setelah tindakan penyitaan,
utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang
melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali
daan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Penjualan secara lelang
melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling
singkat 14 hari setelah pengumuman lelang
Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,00 tidak harus
diumumkan melalui mesia massa.[7]
2.
Timbulnya Utang Pajak
Utang pajak timbul karena
Undang-Undang dibidang perpajakan akan tetapi negara dan rakyat tidak memiliki
perikatan yang mendasari utang tersebut, utang pajak timbul karena adanya Tatbestand
yaitu rangkaian dari perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak, seperti :
a.
Perbuatan-perbuatan
seperti : pengusaha yang mengimpor barang mewah atau melakukan penyerahan
barang di daerah pabean dalam lingkungan perusahaan, atas tindakan tersebut
terutang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
b.
Keadaan-keadaan seperti :
memiliki harta bergerak dan harta tak bergerak, dikenakan atau terutang pajak
penghasilan.
c.
Peristiwa, seperti :
meninggalnya pewaris, maka harta warisan yang belum terbagi merupakan subjek
pajak penghasilan dan dikenakan pajak.
Sesuai dengan Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 Tahun 2007 Pasal 12 menyatakan
bahwa setiap wajib pajak membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.[8]
Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 ajaran yang mengatur
tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.
Ajaran formil, yaitu
utang pajak timbul karena dikeluarkanya Surat Sistem Ketetapan Pajak oleh
fiskus. Ajaran ini ditetapkan pada official assessment system. Jadi
menurut paham formal,utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dalam contoh di atas, utang pajak si A
baru akan timbul sesudah fiskus di terbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak
mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum
menerbitkan SKP.
b.
Ajaran materiil, yaitu
utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Jadi menurut faham
materiil, utang pajak timbul karena terpenuhinya keetentuan-ketentuan yang
disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang
tersebut sebagai tatsbestand.[9]
Pada contoh Mr. Brad Pritt ternyata mempunyai penghasilan di Indonesia
yang jumlahnya lebih dari penghasilan Tidak kena Pajak, maka Mr. Brad Pritt
wajib menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri di Indonesia, karena telah terpenuhi tatsbentand
yaitu: 1. Karena Mr. Brad Pritt tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, maka Mr. Brad Pritt merupakan Subjek Pajak Dalam Negri
di Indonesia. 2. Karena Mr. Brad Pritt mempunyai penghasilan yang besarnya
lebih dari PTKP, maka ketentuan mengenai Wajib Pajak sudah terpenuhi. Maka Mr.
Brad Pritt menjadi Wajib Pajak di Indonesia.
Dalam sistem ini penentuan timbulnya utang pajak yang cocok untuk
diterapkan adalah paham formal, karena dalam sistem ini fiskus berperan aktif menghitung
dan menetapkan besarnya pajak yang terutang.[10]
Surat ketetapan pajak hanya dikeluarkan dalam hal-hal sebagai berikut:
a.
Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang
atau tidak dibayar
b.
Apabila surat
pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan/disetor oleh wajib pajak dalam jangka
wakti 3 bulan setelah tahun pajak berakhir, dan setelah ditegur secara tertulis
wajib pajak tetap tidak menghiraukanya
c.
Apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajibanya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 28 dan 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yakni
Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan (pasal 28). Sedangkan
dalam pasal 29 ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa
harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.[11]
3.
Berakhirnya Utang Pajak
Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal
sebagai berikut :
1)
Pembayaran/pelunasan
Pembayaran/pelunasan pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan
menggunakan surat setoran pajak atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran
atau pelunasan pajak dapat dilakukan di kantor kas Negara, kantor pos dan giro
atau di bank persepsi.[12]
2)
Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dala tahun
yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran
PPN, antara jenis pajak yang sama dalam tahun yang berbeda, misalnya kelebihan
pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.[13]
3)
Daluarsa
Untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun fiskus,
maka diberikan waktu tertentu untuk penagihan pajak. Batas daluarsa yang
berlaku saat ini adalah:
a.
Untuk pajak pusat adalah
5 tahun
b.
Untuk pajak daerah adalah
5 tahun
c.
Untuk retribusi daerah
adalah 3 tahun
d.
Untuk wajib pajak yang
terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu.[14]
4)
Pembebasan
Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah
memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak
diwilayah-wilayah tertentu.[15]
5)
Hapusnya Utang Pajak
Utang pajak yang dapat dihapuskan adalah utang pajak yang tercantum
dalam Surat Taghan Pajak, Surat Ketetapan Pajak tambahan yang tidak dapat atau
tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena :
a)
Wajib pajak meniggal
dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan, dan tidak mempunyai ahli waris.
b)
Wajib pajak tidak
diketemukan
c)
Wajib pajak tidak
mempunyai harta kekayaan lagi
d)
Hak untuk melaukan
penagihan sudah lewat waktu (daluarsa).
Untuk memastikan keadaan
wajib pajak apakah tidak mungkin lagi dapat ditagih, maka harus diadakan lagi
pemeriksaan setempat terhadap wajib yang bersangkutan. Laporan pemeriksaan
terhadap wajib pajak yang tidak mungkin ditgih lagi harus menggambarkan keadaan
wajib pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya utang
pajak yang tidak dapat ditagih lagi.
Utang pajak yang tidak
mungkin ditagih lagi, hanya dapat dihapuskan setelah adanya laporan
pemeriksaan dari pihak instansi yang berwenang, dalam hal ini aparat
perpajakan, atau setelah adanya penelitian administrasi mengenai lewat
waktu (daluarsa) penagihan pajak.[16]
4.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Utang pajak adalah pajak
yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan denda.
b.
Prosedur penagihan utang
pajak adalah surat teguran, surat paksa, juru sita pajak, surat sita dan lelang.
c.
Timbulnya utang pajak
dibedakan menjadi 2 aliran yakni aliran formal dan aliran materiil.
d.
Berakhirnya utang pajak
karena adanya pembayaran/pelunasan, kompensasi, daluarsa, pembebasan dan hapusnya
utang pajak.
B.
Saran
Demikian makalah ini kami
buat, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka
dari tiu kritik dan saran yang membangun selalu kam tunggu untuk perbaikan
makalah ini kearah yang lebih baik. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
siapa saja yang membaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Bohari.1995. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Pandiangan, Roristua. 2015. Hukum Pajak.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rosdiana, Haula.dkk. 2012. Pengantar Ilmu
Pajak. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sutedi, Adrian. 2013. Hukum Pajak. Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
[1] Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset,2013), hlm.35
[2] Roristua Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2015), hlm.124-125
[3] Ibid,
hlm.39
[4] Ibid,
hlm.40-41
[5] Ibid,
hlm.41.
[6] Ibid,
hlm.42.
[7] Ibid,
hlm.42.
[8] Roristua Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2015), hlm.123-124
[9] Adrian
Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2013), hlm.36.
[10] Haula Rosdiana,.dkk.. Pengantar Ilmu Pajak. (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 123.
[11]
Bohari, Pengantar Hukum Pajak. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
1995),hlm. 85.
[12] Roristua
Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm.127
[13] Ibid,
hlm.127
[14] Ibid,
hlm. 128
[15] Ibid,
hlm. 128
[16] Bohari, Pengantar Hukum Pajak. (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 1995),hlm.98