Kamis, 26 Mei 2016

utang pajak



I.          PENDAHULUAN
Membicarakan utang pajak maka kita harus berfikir secara analisis, yakni harus mengerti apa pajak dan apa utang. Dan secara yuridis mengenai utang itu harus ada pihak, yakni pihak kreditur yang mempunyai hak dan pihak debitur yang mempunyai kewajiban.
Timbulnya utang dalam hukum perdata (utang biasa) disebabkan adanya perikatan yang dikuasai oleh hukum perdata. Dalam perikatan maka pihak yang satu berkewajiban memenuhi apa yang menjahi hak pihak lain, misalnya terjadi perjanjian jual beli, maka kewajiban penjual menyerahkan barang yang dijualnya, sedangkan pembeli berkewajiban membayar harga yang telah ditetapkan.
Sedangkan perikatan yang timbul dari undang-undang saja, misalnya adanya “kelahiran” yaitu bila anak lahir maka menurut undang-undang, orang tuanya berkewajiban mengurus dan memelihara anaknya.
Utang pajak timbul karena undang-undang, dimana antara Negara dan Rakyat samasekali tidak ada perikatan yang melandasi utang itu. Hak dan kewajiban antara negara dan rakyat tidak sama. Negara dapat memaksakan utang itu untuk dibayar bila seseorang wajib pajak terutang (pajak) terhadap Negara.
Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 12 (1) UU No.16 Tahun 2000. “setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”

II.          RUMUSAN MASALAH
1.      Apa utang pajak dan penagihan pajak?
2.      Bagaimana timbulnya utang pajak?
3.      Bagaimana Berakhirnya Utang Pajak?




III.        PEMBAHASAN
1.      Utang Pajak dan Penagihan Pajak
1)      Utang Pajak
Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 angka 8 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kematian kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapann pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.[1]
Utang pajak mempunyai perbedaan dengan utang biasa yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Utang pajak diliputi/dikuasai oleh ketentuan hukum publik, sedangkan utang biasa dikuasai oleh hukum perdata. Kalau dalam hukum perdata utang pajak jasa timbal balik tidak ada.
Utang biasa penagihanya berdasarkan hukum perdata, sedangkan utang pajak penagihanya berdasarkan hukum publik yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2000 yang dikenal dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Penagih utang pajak dilakukan oleh aparatur Negara dalam hal ini diwakili oleh dirjen pajak, sedangkan penagih utang biasa dilakukan oleh pihak yang memiliki hak atas utang tersebut atau pihal lain yang mendapat surat kuasa untuk menagih dari pihak yang ,memiliki hak atas utang tersebut.[2]
2)      Penagihan utang pajak.
Penagihan utang pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan peyanderaan, menjual barang yang telah disita. Apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut.
a.      Surat teguran
Dalam hal WP tidak menyutujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan surat Teguran setelah lewat 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Dalam hal WP tidak menyutujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP mengajuan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB (surat ketetapan pajak kurang bayar) atau SKPKBT(surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan), kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding.
Dalam hal WP tidak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, keada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh temo pelunasan.[3]
b.      Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak daan biaya penagihan pajak.
Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan membebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp.50.000,00.                Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak.
Surat paksa diterbitkan apabila:
a)      penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b)      Pelaksanaan Surat paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan.[4]
c.       Juru Sita Pajak
Juru Sita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, dan penyaanderaan.
Juru Sita Pajak berwenang untuk menerbitkan:
I.       Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus
II.     Surat paksa
III.   Surat perintah melaksanakan penyitaan
IV.  Surat perintah penyanderaan
V.    Surat pencabutan sita
VI.  Pengumuman lelang
VII.Pembatalan lelang
VIII.    Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.[5]
d.      Surat sita
Utang pajak dalam waktu utang pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak tidak dilunasi, Juru Sita Pajak daapat melakukaan tindakan penyitaan sebesar Rp.100.000,00.[6]
e.      Lelang
Dalam jangka waktu palig singkat 14 hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali daan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang
Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,00 tidak harus diumumkan melalui mesia massa.[7]
2.      Timbulnya Utang Pajak
Utang pajak timbul karena Undang-Undang dibidang perpajakan akan tetapi negara dan rakyat tidak memiliki perikatan yang mendasari utang tersebut, utang pajak timbul karena adanya Tatbestand yaitu rangkaian dari perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak, seperti :
a.      Perbuatan-perbuatan seperti : pengusaha yang mengimpor barang mewah atau melakukan penyerahan barang di daerah pabean dalam lingkungan perusahaan, atas tindakan tersebut terutang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
b.      Keadaan-keadaan seperti : memiliki harta bergerak dan harta tak bergerak, dikenakan atau terutang pajak penghasilan.
c.       Peristiwa, seperti : meninggalnya pewaris, maka harta warisan yang belum terbagi merupakan subjek pajak penghasilan dan dikenakan pajak.
Sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 Tahun 2007 Pasal 12 menyatakan bahwa setiap wajib pajak membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.[8]
Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 ajaran yang mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.      Ajaran formil, yaitu utang pajak timbul karena dikeluarkanya Surat Sistem Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini ditetapkan pada official assessment system. Jadi menurut paham formal,utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus di terbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
b.      Ajaran materiil, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Jadi menurut faham materiil, utang pajak timbul karena terpenuhinya keetentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai tatsbestand.[9]
Pada contoh Mr. Brad Pritt ternyata mempunyai penghasilan di Indonesia yang jumlahnya lebih dari penghasilan Tidak kena Pajak, maka Mr. Brad Pritt wajib menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri di Indonesia, karena telah terpenuhi tatsbentand yaitu: 1. Karena Mr. Brad Pritt tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka Mr. Brad Pritt merupakan Subjek Pajak Dalam Negri di Indonesia. 2. Karena Mr. Brad Pritt mempunyai penghasilan yang besarnya lebih dari PTKP, maka ketentuan mengenai Wajib Pajak sudah terpenuhi. Maka Mr. Brad Pritt menjadi Wajib Pajak di Indonesia.
Dalam sistem ini penentuan timbulnya utang pajak yang cocok untuk diterapkan adalah paham formal, karena dalam sistem ini fiskus berperan aktif menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang.[10]
Surat ketetapan pajak hanya dikeluarkan dalam hal-hal sebagai berikut:
a.      Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang atau tidak dibayar
b.      Apabila surat pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan/disetor oleh wajib pajak dalam jangka wakti 3 bulan setelah tahun pajak berakhir, dan setelah ditegur secara tertulis wajib pajak tetap tidak menghiraukanya
c.       Apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajibanya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 28 dan 29 Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2007, yakni Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan (pasal 28). Sedangkan dalam pasal 29 ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.[11]
3.      Berakhirnya Utang Pajak
Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :
1)      Pembayaran/pelunasan
Pembayaran/pelunasan pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan menggunakan surat setoran pajak atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran atau pelunasan pajak dapat dilakukan di kantor kas Negara, kantor pos dan giro atau di bank persepsi.[12]
2)      Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dala tahun yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran PPN, antara jenis pajak yang sama dalam tahun yang berbeda, misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.[13]
3)      Daluarsa
Untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun fiskus, maka diberikan waktu tertentu untuk penagihan pajak. Batas daluarsa yang berlaku saat ini adalah:
a.      Untuk pajak pusat adalah 5 tahun
b.      Untuk pajak daerah adalah 5 tahun
c.       Untuk retribusi daerah adalah 3 tahun
d.      Untuk wajib pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu.[14]
4)      Pembebasan
Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah, misalnya dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak diwilayah-wilayah tertentu.[15]
5)      Hapusnya Utang Pajak
Utang pajak yang dapat dihapuskan adalah utang pajak yang tercantum dalam Surat Taghan Pajak, Surat Ketetapan Pajak tambahan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena :
a)      Wajib pajak meniggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan, dan tidak mempunyai ahli waris.
b)      Wajib pajak tidak diketemukan
c)      Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi
d)      Hak untuk melaukan penagihan sudah lewat waktu (daluarsa).
Untuk memastikan keadaan wajib pajak apakah tidak mungkin lagi dapat ditagih, maka harus diadakan lagi pemeriksaan setempat terhadap wajib yang bersangkutan. Laporan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang tidak mungkin ditgih lagi harus menggambarkan keadaan wajib pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya utang pajak yang tidak dapat ditagih lagi.
Utang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi, hanya dapat dihapuskan setelah adanya laporan pemeriksaan dari pihak instansi yang berwenang, dalam hal ini aparat perpajakan, atau setelah adanya penelitian administrasi mengenai lewat waktu (daluarsa) penagihan pajak.[16]
4.             PENUTUP
A.      Kesimpulan
a.      Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan denda.
b.      Prosedur penagihan utang pajak adalah surat teguran, surat paksa, juru sita pajak, surat sita dan lelang.
c.       Timbulnya utang pajak dibedakan menjadi 2 aliran yakni aliran formal dan aliran materiil.
d.      Berakhirnya utang pajak karena adanya pembayaran/pelunasan, kompensasi, daluarsa, pembebasan dan hapusnya utang pajak.

B.      Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari tiu kritik dan saran yang membangun selalu kam tunggu untuk perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca. Amin
















DAFTAR PUSTAKA

Bohari.1995. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Pandiangan, Roristua. 2015. Hukum Pajak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rosdiana, Haula.dkk. 2012. Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sutedi, Adrian. 2013. Hukum Pajak. Jakarta: Sinar Grafika Offset.


 


[1] Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2013), hlm.35
[2] Roristua Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm.124-125
[3] Ibid,  hlm.39
[4] Ibid,  hlm.40-41
[5] Ibid,  hlm.41.
[6] Ibid,  hlm.42.
[7] Ibid,  hlm.42.
[8] Roristua Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm.123-124
[9] Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2013), hlm.36.
[10] Haula Rosdiana,.dkk.. Pengantar Ilmu Pajak. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 123.
[11] Bohari, Pengantar Hukum Pajak. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995),hlm. 85.
[12] Roristua Pandiangan, Hukum Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm.127
[13] Ibid, hlm.127
[14] Ibid, hlm. 128
[15] Ibid, hlm. 128
[16] Bohari, Pengantar Hukum Pajak. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995),hlm.98